Minggu, 13 Maret 2011

ARBITRASI


Penyelesaian Sengketa Ekonomi

ARBITRASI
Arbitrase adalah usaha perantara dalam meleraikan sengketa. Dalam hal ini, ada beberapa definisi yang diberikan oleh para ahli hukum, antara lain :
a)         Subekti mengatakan arbitrase merupakan suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk atau mentaati keputusan yang akan diberikan wasit atau para wasit yang mereka pilih atau yang ditunjuk.
b)        Abdulkadir Muhammad mengatakan arbitrase merupakan badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan merupakan kehendak bebas pihak-pihak yang bersengketa. Kehendak bebas ini dituangkan dalam perjanjian sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.
c)         Dalam Pasal 3 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan. Akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial (executoir) setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan.
Dalam pada itu, penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase lebih disukai oleh pelaku ekonomi dalam kontrak bisnis yang bersifat nasional maupun internasional dikarenakan sifat kerahasiaannya, prosedur sederhana, putusan arbiter mengikat para pihak, dan disebabkan putusan yang diberikan bersifat final.
Arbitrase adalah sebagai upaya hukum dalam perkembangan dunia usaha, baik nasional maupun internasional. Pemerintah telah mengadakan pembaharuan terhadap undang-undang arbitrase nasional dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dengan demikian, berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Sementara itu, sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal walaupun disebabkan oleh suatu keadaaan, seperti di bawah ini :
a)         meninggalnya salah satu pihak,
b)        bangkrutnya salah satu pihak,
c)         novasi (pembaharuan utang),
d)        insolvensi (keadaan tidak mampu membayar) salah satu pihak,
e)         pewarisan,
f)         berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok,
g)        bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut, atau
h)        berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke pengadilan negeri maka pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan.
Dalam pada itu, arbitrase ada dua jenis, yakni arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter dan arbitrase institusional.
a)         Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter
Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter merupakan arbitrase yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu. Oleh karena itu arbitrase ad hoc bersifat “insidentil”, dimana kedudukan dan keberadaanya hanya untuk melayani dan memutuskan kasus perselisihan tertentu maka apabila telah menyelesaikan sengketa dengan diputuskan perkara tersebut, keberadaan dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.
b)        Arbitrase institusional
Arbitrase institusional merupakan suatu lembaga atau badan arbitrase yang bersifat “permanen”, sehingga arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar, meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus.
Sementara itu, di Indonesia terdapat dua lembaga arbitrase yang memberikan jasa arbitrase, yakni Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, para pihak berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian.  Lembaga arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian dan memberikan suatu pendapat yang mengikat (binding opinion) mengenai persoalan yang berkenaan dengan perjanjian tersebut, misalnya terdapat penafsiran ketentuan yang belum jelas, yakni adanya penambahan atau perubahan pada ketentuan yang berhubungan dengan munculnya keadaan yang baru.
Pemberian pendapat oleh lembaga arbitrase menyebabkan kedua belah pihak terikat padanya. Apabila tindakannya ada yang bertentangan dengan pendapat tersebut maka dianggap melanggar perjanjian, sehingga terhadap pendapat yang mengikat tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum atau perlawanan baik upaya hukum banding atau kasasi.
Sementar itu, pelaksanaan putusan arbitrase nasional dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan. Dengan demikian, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri dan oleh panitera diberikan catatan yang merupakan akta pendaftaran.
Dengan demikian, putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum dan mengikat para pihak. Keputusan arbitrase bersifat final, berarti putusan arbitrase merupakan keputusan final dan karenanya tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Sementar itu, ketua pengadilan negeri dalam memberikan perintah pelaksanaan keputusan arbitrase harus memeriksa syarat-syarat untuk dijadikan suatu putusan arbitrase, seperti :
a)         para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase;
b)        persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat dalam suatu dokumen yang ditanda tangani oleh para pihak;
c)         sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan;
d)        sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah yang tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Dengan demikian, putusan arbitrase dibubuhi perintah oleh ketua pengadilan negeri untuk dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang keputusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam hal pelaksanaan keputusan arbitrase internasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadialan Negeri Jakarta Pusat.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, suatu putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, jika telah memenuhi persyaratan seperti berikut :
a)         Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
b)        Putusan arbitrase internasional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
c)         Putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia dan keputusannya tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
d)        Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekutor dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dengan demikian, suatu putusan arbitrase terhadap para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur seperti berikut :
a)         Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan diketahui palsu atau dinyatakan palsu.
b)        Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan dan yang disembunyikan oleh pihak lawan.
c)         Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Dengan demikian, permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari pernyataan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri di mana permohonan tersebut diajukan kepada ketua pengadilan negeri.
Terhadap putusan pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung  yang memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding dalam waktu paling lama 30 hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.


Contoh kasus arbitrasi.
Salah satu hal yang pasti mengenai hukum di Indonesia adalah ketidakpastian hukum.
Masalah ini gawat, kalau darurat. Kasus-kasus yang tergolong besar yang melibatkan
Indonesia di forum-forum arbitrase internasional adalah karena tidak adanya kepastian
hukum ini. Sengketa-sengketa yang mendapat sorotan keras masyarakat internasional, misalnya sengketa Karaha Bodas, antara lain, berawal dari ketidakpastian hukum ini.
Opini tentang penyelesaian sengketa menggunakan metode arbitrasi.
Menurut pendapat saya, menyelesaikan sengketa dengan cara arbitrasi adalah pilihan ketiga jika dengan cara negosiasi & mediasi menemui jalan buntu. Antara negosiasi, mediasi & arbitrasi mempunyai kesamaan prinsip seperti:
1. sederhana dan cepat (informal dan quick),
2. prinsip konfidensial,
3. diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang memiliki pengetahuan khusus secara profesional.
Namun, demikian, di balik persamaan itu terdapat perbedaan dianggap fundamental, sehingga dunia bisnis lebih cenderung memiliki mediasi ataupun negosiasi. Perbedaan yang dianggap fundamental, antara lain dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
·         Masalah biaya, dianggap sangat mahal (expensive). Biaya yang harus dikeluarkan penyelesaian arbitrase, hampir sama adengan biaya litigasi di pengadilan. Komponen biaya atrbitrase terdiri dari: (a) Biaya administrasi (b) Honor arbitrator. (c) Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator (d) Biaya saksi dan ahli.
·         Masalah sederhana dan cepat. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah lain. Tanpa mengurangi banyaknya sengketa yang diselesaikan arbitrase dalam jangka waktu 60-90 hari, Namun banyak pula penyelesaian yang memakan waktu panjang. Bahkan ada yang bertahun-tahun atau puluhan tahun. Apalagi timbul perbedaan pendapat mengenai penunjukkan arbitrase, Rule yang disepakati atau hukum yang hendak diterapkan (governing law), membuat proses penyelesaian bertambah rumit dan panjang.
Sumber:
http://www.kesimpulan.com/2009/04/alternatif-penyelesaian-sengketa.htmlØ

 http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/hubungan-internasional/penyelesaian-sengketa-internasional-secara-damai
Ø

 http://ppsgmmi.blogspot.com/2008/05/skripsi.html
Ø


Tidak ada komentar:

Posting Komentar