Selasa, 18 Juni 2013

KURS DAN JENIS-JENISNYA

Kurs atau nilai tukar merupakan sebuah kunci bagi suatu negara untuk bertransaksi dengan dunia luar. Sistem pembayaran yang dilakukan baik di dalam negeri maupun luar negeri mau tidak mau harus terikat dengan nilai tukar atau kurs. Sistem nilai tukar sendiri terdiri dari beberapa jenis, yaitu kurs tetap, mengambang bebas, dan mengambang terkendali. Lalu kurs apa yang pernah ditetapkan di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebelumnya kita telusuri dulu makna dari masing masing kurs serta kelebihan dan kekurangannya.

1. Kurs Tetap (Fixed Exchange Rate)
 Kurs tetap merupakan sistem nilai tukar dimana pemegang otoritas moneter tertinggi suatu negara (Central Bank) menetapkan nilai tukar dalam negeri terhadap negara lain yang ditetapkan pada tingkat tertentu tanpa melihat aktivitas penawaran dan permintaan di pasar uang. Jika dalam perjalanannya penetapan kurs tetap mengalami masalah, misalnya terjadi fluktuasi penawaran maupun permintaan yang cukup tinggi maka pemerintah bisa mengendalikannya dengan membeli atau menjual kurs mata uang yang berada dalam devisa negara untuk menjaga agar nilai tukar stabil dan kembali ke kurs tetap nya. Dalam kur tetap ini, bank sentral melakukan intervensi aktif di pasar valas dalam penetapan nilai tukar.

Keunggulan :
  • Kegiatan spekulasi di pasar uang semakin sempit.
  • Intervensi aktif pemerintah dalam mengatur nilai tukar sehingga tetap stabil.
  • Pemerintah memegang peranan penuh dalam pengawasan transaksi devisa.
  • Kepastian nilai tukar, sehingga perencanaan produksi sesuai dengan hasilnya.
Kelemahan :
  • Cadangan devisa harus besar, untuk menyerap kelebihan dan kekurangan di pasar valas.
  • Kurang fleksibel terhadap perubahan global.
  • Penetapan kurs yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan mempengaruhi pasar ekspor impor.
Penerapannya di Indonesia

Sistem nilai tukar tetap pernah berlaku di Indonesia. Berdasarkan UU No.32 tahun 1964 ditetapkan bahwa nilai tukar Indonesia sebesar Rp. 250,-/US Dollar. Sedangkan nilai tukar Indonesia terhadap negara lainnya ditetapkan berdasarkan nilai tukar dollar terhadap negara tersebut sesuai dengan yang berlaku di pasar valuta asing Jakarta dan internasional. Dalam periode penetapan kurs tetap tersebut, Indonesia juga menetapakan peraturan sistim kontrol devisa yang ketat. Dalam sistim ini, tidak ada pembatasan kepemilikan, penjualan, maupun pembelian valas namun para eksportir wajib menjual devisanya kepada bak sentral. Sebagai dampak dari penetapan kurs tetap tersebut maka Bank Indonesia harus mampu memenuhi kebutuhan pasar valas bagi bank komersial maupun masyarakat. 
Dalam perjalanannya, Indonesia juga sempat mendevaluasi kurs tetapnya sebagai dampak dari overvaluated dan jika di biarkan akan mengancam aktivitas ekspor-impor. Pada tanggal 17 April 1970 Indonesia merubah kurs tetapnya dari posisi semula sebesar Rp. 250,-/US Dollar menjadi  Rp 378,-/US Dollar. Devaluasi yang kedua dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 1971 menjadi Rp 415,-/US Dollar dan yang ketiga pada tanggal 15 November 1978 dengan nilai tukar sebesar Rp 625,-/US Dollar

2. Kurs Mengambang Terkendali (Managed Floating Exchange Rate)
Penetapan kurs ini tidak sepenuhnya terjadi dari aktivitas pasar valuta. Dalam pasar ini masih ada campur tangan pemerintah melalui alat ekonomi moneter dan fiskal yang ada. Jadi dalam pasar valuta ini tidak murni berasal dari penawaran dan permintaan uang.

Keunggulan :
  • Mampu menjaga stabilitas moneter dengan lebih baik dan neraca pembayaran suatu negara.
  • Adanya aktifitas MD/MS dalam pasar valuta berdasarkan kurs indikasi akan mampu menstabilkan nilai tukar dengan lebih baik sesuai dengan kondisi ekonomi yang terjadi.
  • Devisa yang diperlukan tidak sebesar pada nilai tukar tetap.
  • Mampu memadukan sistem tetap dan mengambang.
Kelemahan :
  • Devisa harus selalu tersedia dan siap diguankan sewaktu-waktu.
  • Persaingan yang ketat antara pemerintah dan spekualan dalam memprediksi dan menetapkan kurs.
  • Tidak selamanya mampu mengatasi neraca pembayaran.
  •  Selisih kurs yang terjadi dalam pasar valuta akan mengurangi devisa karena memakai devisa untuk menutupi selisihnya.
Penerapannya di Indonesia
Sistem nilai tukar mengambang terkendali di Indonesia ditetapkan bersamaan dengan kebijakan devaluasi Rupiah pada tahun 1978 sebesar 33 %. Pada sistem ini nilai tukar Rupiah diambangkan terhadap sekeranjang mata uang (basket currencies) negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Dengan sistem tersebut, Bank Indonesia menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan spread tertentu. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah, maka Bank Indonesia melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas atau batas bawah spread (Teguh Triyono, 2005). Pada saat sistem nilai tukar mengambang terkendali diterapkan di Indonesia, nilai tukar Rupiah dari tahun ke tahunnya terus mengalami depresiasi terhadap US Dollar. Nilai tukar Rupiah berubah-ubah antara Rp 644/US Dollar sampai Rp 2.383/US Dollar. Dengan perkataan lain, nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar cenderung tidak pasti.

3. Kurs Mengambang Bebas (Free Floating Rate)
Kurs mengambang bebas merupakan suatu sistem ekonomi yang ditujukan bagi suatu negara yang sistem perekonomiannya sudah mapan. Sistim nilai tukar ini akan menyerahkan sleuruhnya kepada pasar untuk mencapai kondisi equilibrium yang sesuai dengan kondisi internal dan eksternal. Jadi dalam sistem nilai tukar ini hampir tidak ada campur tangan pemerintah. 

Keunggulan :
  • Cadangan devisa lebih aman.
  • Persaingan pasar ekspor-impor sesuai dengan mekanisme pasar.
  • Kondisi ekonomi negara lain tidak akan berpengaruh besar terhadap kondisi ekonomi dalam negeri.
  • Masalah neraca pembayaran dapat diminimalisir.
  • Tidak ada batasan valas.
  • Equilibrium pasar uang.
Kelemahan :
  •  Praktik spekulasi semakin bebas.
  • Penerapan sistem ini terbatas pada negara yang sistim perekonomiannya mapan, masih kurang teapt untuk negara berkembang.
  • Tidak adanya intervensi pemerintah untuk menjaga harga.
Penerapannya di Indonesia

Indonesia mulai menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas pada periode 1997 hingga sekarang. Sejak pertengahan Juli 1997, Rupiah mengalami tekanan yang mengakibatkan semakin melemahnya nilai Rupiah terhadap US Dollar. Tekanan tersebut diakibatkan oleh adanya currency turmoil yang melanda Thailand dan menyebar ke negara-negara ASEAN termasuk Indonesia. Untuk mengatasi tekanan tersebut, Bank Indonesia melakukan intervensi baik melalui spot exchange rate (kurs langsung) maupun forward exchange rate (kurs berjangka) dan untuk sementara dapat menstabilkan nilai tukar Rupiah. Namun untuk selanjutnya tekanan terhadap depresiasi Rupiah semakin meningkat. Oleh karena itu dalam rangka mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang, pada tanggal 14 Agustus 1997, Bank Indonesia memutuskan untuk menghapus rentang intervensi sehingga nilai tukar Rupiah dibiarkan mengikuti mekanisme pasar.

REFERENSI

Kamis, 02 Mei 2013

Skandal Manipulasi Laporan Keuangan (Overstated) PT. Kimia Farma Tbk.

A.    Permasalahan
PT Kimia Farma adalah salah satu produsen obat-obatan milik pemerintah di Indonesia. Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementerian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali (restated), karena telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang dilaporkan. Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan berupa overstated penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral berupa overstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.
Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada dalam daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui direktur produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan (master prices) pada tanggal 1 dan 3 Februari 2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001. Sedangkan kesalahan penyajian berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda atas penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi. Berdasarkan penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut juga tidak terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut.
Selanjutnya diikuti dengan pemberitaan di harian Kontan yang menyatakan bahwa Kementerian BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham milik Pemerintah di PT KAEF setelah melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan (overstated) dalam laporan keuangan pada semester I tahun 2002. Dimana tindakan ini terbukti melanggar Peraturan Bapepam No.VIII.G.7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan poin 2 – Khusus huruf m – Perubahan Akuntansi dan Kesalahan Mendasar poin 3) Kesalahan Mendasar, sebagai berikut:
“Kesalahan mendasar mungkin timbul dari kesalahan perhitungan matematis, kesalahan dalam penerapan kebijakan akuntansi, kesalahan interpretasi fakta dan kecurangan atau kelalaian.
Dampak perubahan kebijakan akuntansi atau koreksi atas kesalahan mendasar harus diperlakukan secara retrospektif dengan melakukan penyajian kembali (restatement) untuk periode yang telah disajikan sebelumnya dan melaporkan dampaknya terhadap masa sebelum periode sajian sebagai suatu penyesuaian pada saldo laba awal periode. Pengecualian dilakukan apabila dianggap tidak praktis atau secara khusus diatur lain dalam ketentuan masa transisi penerapan standar akuntansi keuangan baru”.
a.      Sanksi dan Denda
Sehubungan dengan temuan tersebut, maka sesuai dengan Pasal 102 Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal jo Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1995 jo Pasal 64 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal maka PT Kimia Farma (Persero) Tbk. dikenakan sanksi administratif berupa denda yaitu sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Sesuai Pasal 5 huruf n Undang-Undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, maka:
1.      Direksi Lama PT Kimia Farma (Persero) Tbk. periode 1998 – Juni 2002 diwajibkan membayar sejumlah Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk disetor ke Kas Negara, karena melakukan kegiatan praktek penggelembungan atas laporan keuangan per 31 Desember 2001.
2.      Sdr. Ludovicus Sensi W, Rekan KAP Hans Tuanakotta dan Mustofa selaku auditor PT Kimia Farma (Persero) Tbk. diwajibkan membayar sejumlah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk disetor ke Kas Negara, karena atas risiko audit yang tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT Kimia Farma (Persero) Tbk. tersebut, meskipun telah melakukan prosedur audit sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), dan tidak diketemukan adanya unsur kesengajaan. Tetapi, KAP HTM tetap diwajibkan membayar denda karena dianggap telah gagal menerapkan Persyaratan Profesional yang disyaratkan di SPAP SA Seksi 110 – Tanggung Jawab & Fungsi Auditor Independen, paragraf 04 Persyaratan Profesional, dimana disebutkan bahwa persyaratan profesional yang dituntut dari auditor independen adalah orang yang memiliki pendidikan dan pengalaman berpraktik sebagai auditor independen.

b.      Keterkaitan Akuntan Terhadap Skandal PT Kimia Farma Tbk.
Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) melakukan pemeriksaan atau penyidikan baik atas manajemen lama direksi PT Kimia Farma Tbk. ataupun terhadap akuntan publik Hans Tuanakotta dan Mustofa (HTM). Dan akuntan publik (Hans Tuanakotta dan Mustofa) harus bertanggung jawab, karena akuntan publik ini juga yang mengaudit Kimia Farma tahun buku 31 Desember 2001 dan dengan yang interim 30 Juni tahun 2002.
Pada saat audit 31 Desember 2001 akuntan belum menemukan kesalahan pencatatan atas laporan keuangan. Tapi setelah audit interim 2002 akuntan publik Hans Tuanakotta Mustofa (HTM) menemukan kesalahan pencatatan alas laporan keuangan. Sehingga Bapepam sebagai lembaga pengawas pasar modal bekerjasama dengan Direktorat Akuntansi dan Jasa Penilai Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi para akuntan publik untuk mencari bukti-bukti atas keterlibatan akuntan publik dalam kesalahan pencatatan laporan keuangan pada PT. Kimia Farma Tbk. untuk tahun buku 2001.
Namun dalam hal ini seharusnya akuntan publik bertindak secara independen karena mereka adalah pihak yang bertugas memeriksa dan melaporkan adanya ketidakwajaran dalam pencatatan laporan keuangan. Dalam UU Pasar Modal 1995 disebutkan apabila di temukan adanya kesalahan, selambat-lambamya dalam tiga hari kerja, akuntan publik harus sudah melaporkannya ke Bapepam. Dan apabila temuannya tersebut tidak dilaporkan maka auditor tersebut dapat dikenai pidana, karena ada ketentuan yang mengatur bahwa setiap profesi akuntan itu wajib melaporkan temuan kalau ada emiten yang melakukan pelanggaran peraturan pasar modal. Sehingga perlu dilakukan penyajian kembali laporan keuangan PT. Kimia Farma Tbk. dikarenakan adanya kesalahan pencatatan yang mendasar, akan tetapi kebanyakan auditor mengatakan bahwa mereka telah mengaudit sesuai dengan standar profesional akuntan publik. Akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa ikut bersalah dalam manipulasi laporan keuangan, karena sebagai auditor independen akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM) seharusnya mengetahui laporan-laporan yang diauditnya itu apakah berdasarkan laporan fiktif atau tidak.
c.       Keterkaitan Manajemen Terhadap Skandal PT Kimia Farma Tbk
Mantan direksi PT Kimia Farma Tbk. Telah terbukti melakukan pelanggaran dalam kasus dugaan penggelembungan (mark up) laba bersih di laporan keuangan perusahaan milik negara untuk tahun buku 2001. Kantor Menteri BUMN meminta agar kantor akuntan itu menyatakan kembali (restated) hasil sesungguhnya dari laporan keuangan Kimia Farma tahun buku 2001. Sementara itu, direksi lama yang terlibat akan diminta pertanggungjawabannya. Seperti diketahui, perusahaan farmasi terbesar di Indonesia itu telah mencatatkan laba bersih 2001 sebesar Rp 132,3 miliar. Namun kemudian Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai, pencatatan tersebut mengandung unsur rekayasa dan telah terjadi penggelembungan. Terbukti setelah dilakukan audit ulang, laba bersih 2001 seharusnya hanya sekitar Rp 100 miliar. Sehingga diperlukan lagi audit ulang laporan keuangan per 31 Desember 2001 dan laporan keuangan per 30 Juni 2002 yang nantinya akan dipublikasikan kepada publik.
Setelah hasil audit selesai dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Hans Tuanakotta & Mustafa, akan segera dilaporkan ke Bapepam. Dan Kimia Farma juga siap melakukan revisi dan menyajikan kembali laporan keuangan 2001, jika nanti ternyata ditemukan kesalahan dalam pencatatan. Untuk itu, perlu dilaksanakan rapat umum pemegang saham luar biasa sebagai bentuk pertanggungjawaban manajemen kepada publik. Meskipun nantinya laba bersih Kimia Farma hanya tercantum sebesar Rp 100 miliar, investor akan tetap menilai bagus laporan keuangan. Dalam persoalan Kimia Farma, sudah jelas yang bertanggung jawab atas terjadinya kesalahan pencatatan laporan keuangan yang menyebabkan laba terlihat di-mark up ini, merupakan kesalahan manajemen lama.
d.      Kesalahan Pencatatan Laporan Keuangan Kimia Farma Tahun 2001
Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai kesalahan pencatatan dalam laporan keuangan PT Kimia Farma Tbk. tahun buku 2001 dapat dikategorikan sebagai tindak pidana di pasar modal. Kesalahan pencatatan itu terkait dengan adanya rekayasa keuangan dan menimbulkan pernyataan yang menyesatkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Bukti-bukti tersebut antara lain adalah kesalahan pencatatan apakah dilakukan secara tidak sengaja atau memang sengaja diniatkan. Tapi bagaimana pun, pelanggarannya tetap ada karena laporan keuangan itu telah dipakai investor untuk bertransaksi. Seperti diketahui, perusahaan farmasi itu sempat melansir laba bersih sebesar Rp 132 miliar dalam laporan keuangan tahun buku 2001. Namun, kementerian Badan Usaha Milik Negara selaku pemegang saham mayoritas mengetahui adanya ketidakberesan laporan keuangan tersebut. Sehingga meminta akuntan publik Kimia Farma, yaitu Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM) menyajikan kembali (restated) laporan keuangan Kimia Farma 2001. HTM sendiri telah mengoreksi laba bersih Kimia Farma tahun buku 2001 menjadi Rp 99 milliar. Koreksi ini dalam bentuk penyajian kembali laporan keuangan itu telah disepakati para pemegang saham Kimia Farma dalam rapat umum pemegang saham luar biasa. Dalam rapat tersebut, akhirnya pemegang saham Kimia Farma secara aklamasi menyetujui tidak memakai lagi jasa HTM sebagai akuntan publik.
e.       Dampak Terhadap Profesi Akuntan
Aktivitas manipulasi pencatatan laporan keungan yang dilakukan manajemen tidak terlepas dari bantuan akuntan. Akuntan yang melakukan hal tersebut memberikan informasi yang menyebabkan pemakai laporan keuangan tidak menerima informasi yang fair. Akuntan sudah melanggar etika profesinya. Kejadian manipulasi pencatatan laporan keuangan yang menyebabkan dampak yang luas terhadap aktivitas bisnis yang tidak fair membuat pemerintah campur tangan untuk membuat aturan yang baru yang mengatur profesi akuntan dengan maksud mencegah adanya praktik-praktik yang akan melanggar etika oleh para akuntan publik.
B.     PEMBAHASAN
Keterkaitan Manajemen Risiko Etika disini adalah pada pelaksanaan audit oleh KAP HTM selaku badan independen, kesepakatan dan kerjasama dengan klien (PT Kimia Farma Tbk.) dan pemberian opini atas laporan keuangan klien.
Dalam kasus ini, jika dipandang dari sisi KAP HTM, maka urutan stakeholder mana ditinjau dari segi kepentingan stakeholder adalah:
1. Klien atau PT Kimia Farma Tbk.
2. Pemegang saham
3. Masyarakat luas
Dalam kasus ini, KAP HTM menghadapi sanksi yang cukup berat dengan dihentikannya jasa audit mereka. Hal ini terjadi bukan karena kesalahan KAP HTM semata yang tidak mampu melakukan review menyeluruh atas semua elemen laporan keuangan, tetapi lebih karena kesalahan manajemen Kimia Farma yang melakukan aksi manipulasi dengan penggelembungan nilai persediaan.
Kasus yang menimpa KAP HTM ini adalah risiko inheren dari dijalankannya suatu tugas audit. Sedari awal, KAP HTM seharusnya menyadari bahwa kemungkinan besar akan ada risiko manipulasi seperti yang dilakukan PT. Kimia Farma, mengingat KAP HTM adalah KAP yang telah berdiri cukup lama. Risiko ini berdampak pada reputasi HTM dimata pemerintah ataupun publik, dan pada akhirnya HTM harus menghadapi konsekuensi risiko seperti hilangnya kepercayaan publik dan pemerintah akan kemampuan HTM, penurunan pendapatan jasa audit, hingga yang terburuk adalah kemungkinan di tutupnya Kantor Akuntan Publik tersebut.
Diluar risiko bisnis, risiko etika yang dihadapi KAP HTM ini cenderung pada kemungkinan dilakukannya kolaborasi dengan manajemen Kimia Farma dalam manipulasi laporan keuangan. Walaupun secara fakta KAP HTM terbukti tidak terlibat dalam kasus manipulasi tersebut, namun hal ini bisa saja terjadi.
Sesuai dengan teori yang telah di paparkan diatas, manajemen risiko yang dapat diterapkan oleh KAP HTM antara lain adalah dengan mengidentifikasi dan menilai risiko etika, serta menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis dengan stakeholder.
1. Mengidentifikasi dan menilai risiko etika
Dalam kasus antara KAP HTM dan Kimia Farma ini, pengidentifikasian dan penilaian risiko etika dapat diaplikasikan pada tindakan sebagai berikut:
a.) Melakukan penilaian dan identifikasi para stakeholder HTM
HTM selayaknya membuat daftar mengenai siapa dan apa saja para stakeholder yang berkepentingan beserta harapan mereka. Dengan mengetahui siapa saja para stakeholder dan apa kepentingannya serta harapan mereka, maka KAP HTM dapat melakukan penilaian dalam pemenuhan harapan stakeholder melalui pembekalan kepada para auditor senior dan junior sebelum melakukan audit pada Kimia Farma.
b) Mempertimbangkan kemampuan SDM HTM dengan ekspektasi para stakeholder, dan menilai risiko ketidak sanggupan SDM HTM dalam menjalankan tugas audit.
c) Mengutamakan reputasi KAP HTM
Yaitu dengan berpegang pada nilai-nilai hypernorm, seperti kejujuran, kredibilitas, reliabilitas, dan tanggung jawab. Faktor-faktor tersebut bisa menjadi kerangka kerja dalam melakukan perbandingan.
Tiga tahapan ini akan menghasilkan data yang memungkinkan pimpinan KAP HTM dapat mengawasi adanya peluang dan risiko etika, sehingga dapat ditemukan cara untuk menghindari dan mengatasi risiko tersebut, serta agar dapat secara strategis mengambil keuntungan dari kesempatan tersebut.
2. Menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis dengan stakeholder
KAP HTM dapat melakukan pengelompokan stakeholder dan meratingnya dari segi kepentingan, dan kemudian menyusun rencana untuk berkolaborasi dengan stakeholder yang dapat memberikan dukungan dalam penciptaan strategi, yang dapat memenuhi harapan para stakeholder HTM.
C.    ANALISIS
1.      Jenis pelanggaran?
Pelanggaran yang telah dilakukan oleh KAP Hans  Tuanakotta  and  Mustofa   (Deloitte Touche  Tohmatsu's  affiliate) adalah melanggar prinsip dasar etika profesi akuntan, terutama integritas, objektivitas, dan perilaku profesional.

2.      Siapa yang melakukan pelanggaran?
Akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa ikut bersalah dalam manipulasi laporan keuangan, karena sebagai auditor independen akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM) seharusnya mengetahui laporan-laporan yang diauditnya itu apakah berdasarkan laporan fiktif atau tidak. Juga Sdr. Ludovicus Sensi W sebagai rekan kerjanya.
Untuk kasus PT. Kimia Farma, Direksi lama dan pihak manajemen yang melakukan pelanggaran.
3.      Apa akibatnya?
Risiko ini berdampak pada reputasi HTM dimata pemerintah ataupun publik, dan pada akhirnya HTM harus menghadapi konsekuensi risiko seperti hilangnya kepercayaan publik dan pemerintah akan kemampuan HTM, penurunan pendapatan jasa audit, hingga yang terburuk adalah kemungkinan ditutupnya Kantor Akuntan Publik tersebut.
Diluar risiko bisnis, risiko etika yang dihadapi KAP HTM ini cenderung pada kemungkinan dilakukannya kolaborasi dengan manajemen Kimia Farma dalam manipulasi laporan keuangan. Walaupun secara fakta KAP HTM terbukti tidak terlibat dalam kasus manipulasi tersebut, namun hal ini bisa saja terjadi.
4.      Apa tindakan Pemerintah terhadap pelanggaran tersebut?
Tindakan pemerintah dilakukan dimulai dari Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) yang melakukan pemeriksaan laporan keuangan dan menemukan kesalahan yang terjadi. Lalu ditindaklanjuti oleh BP2AP  (Badan  Peradilan Profesi Akuntan Publik) yaitu  lembaga non pemerintah yang dibentuk oleh  Ikatan Akuntan  Indonesa  (IAI) dan pemberian sanksi administratif berupa denda, peringatan tertulis, pembekuan izin usaha, atau pencabutan izin usaha.
5.      Melanggar UU pasal berapa?
Melanggar UU nomor 5 tahun 2011 tentang akuntan publik (Pasal 55 dan Pasal 56).

D.    TANGGAPAN
Menurut saya, dengan adanya kasus seperti ini terutama melibatkan salah satu KAP besar di Indonesia membuat publik terutama menjadi kesulitan untuk menemukan KAP mana yang dapat dipercaya. Tentunya semua pihak berharap agar tidak ada lagi kasus seperti ini. Untuk itu diperlukan kerjasama lagi di antara pihak pemerintah, IAI, maupun akuntan publik sendiri untuk bersama-sama membangun kepercayaan publik kembali terhadap profesi akuntan.
Sumber:
4. http://davidparsaoran.wordpress.com/2009/11/04/skandal-manipulasi-laporan-keuangan-pt-kimia-farma-tbk/