Dari golongan kaum Tsamud sendiri, Allah Ta’ala mengutus seorang rasul bernama Nabi Soleh ‘alaihissalam. Beliau mengajak kaumnya untuk beribadah hanya kepada Allah semata dan meninggalkan peribadatan kepada berhala. Beliau juga memperingatkan tentang adzab yang ditimpakan Allah Ta’ala kepada kaum ‘Ad dengan hujan angin dan pasir panas. Beliau mengajak mereka untuk banyak bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat yang melimpah pada mereka, ditambah lagi bahwa Allah memberi ilham kepada mereka sehingga mereka bisa memahat gunung-gunung yang terjal menjadi tempat tinggal yang nyaman (Baca surat Al-A’Arof 07: 74).
Saat ini di Lembah Rum yang juga disebut dengan Lembah Petra di Jordania dapat dilihat berbagai contoh karya pahat batu yang terbaik dari kaum ini.
SERUAN DAKWAH NABI SALEH ‘alaihissalam
Dalam menghadapi kaum Tsamud, Nabi Soleh ‘alaihissalam selalu mendapat hujatan dan ancaman dari kaumnya, bahkan sampai ancaman pembunuhan. Ketika Nabi Saleh ‘alaihissalam mendakwahkan mereka, Alloh Ta’ala mengabadikan perkataan mereka:
“Kaum Tsamud berkata: "Hai Saleh, Sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara Kami yang Kami harapkan, Apakah kamu melarang Kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak Kami ? dan Sesungguhnya Kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami." (QS. Hud 11: 62)
Di ayat yang lain mereka mengatakan:
“Mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orang-orang yang kena sihir.” (QS. Asy-Syu’aro 26: 153)
Mereka menganggap bahwa ajakan Nabi Saleh ‘alaihissalam itu hanyalah bualan semata. Karena menurut mereka, hal ini menyelisihi apa yang sudah menjadi tradisi nenek moyang mereka dalam mengagungkan berhala.
UNTA BUNTING, MUKJIZAT YANG NYATA
Beberapa ahli tafsir mengatakan bahwa suatu ketika kamu Tsamud berkumpul di balai pertemuan. Kemudian datanglah Nabi Saleh ‘alaihissalam kepada mereka. Nabi Saleh ‘alaihissalam mengajak mereka untuk menyembah kepada Allah saja, disertai peringatan dan ancaman.
Maka, berkatalah kaumnya, “Apakah kamu bisa mengeluarkan dari batu sebesar ini (mereka berisyarat ke sebuah batu) seekor unta betina yang bunting lagi panjang dengan ciri begini dan begitu untuk kami?!” Nabi Saleh ‘alaihissalam ‘alaihissalam Menyahut,“Bagaimana tanggapan kalian jika aku bisa mengabulkan apa yang kalian minta? Apakah kalian akan beriman terhadap apa yang aku bawa dan membenarkan apa yang diriku diutus dengannya?” Mereka pun menjawab, “Ya.” Kemudian Nabi Saleh ‘alaihissalam melakukan sholat, lalu berdo’a kepada Allah agar mengabulkan permintaan mereka.
Maka Allah memerintahkan kepada batu tersebut untuk membelah diri, kemudian keluarlah darinya seekor unta yang buting sesuai dengan ciri yang kaum Tsamud minta. Dan tatkala mereka melihat keajaiban itu, suatu mukjizat yang terang dan nyata di depan mata, suatu tanda yang tak mungkin bisa dielakkan; maka sebagian kecil dari mereka pun beriman, namun kebanyakan dari mereka tetap di atas kekafiran.
KESEPAKATAN BERSAMA
Nabi Saleh ‘alaihissalam juga berpesan kepada mereka:.
“Hai kaumku, Inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah Dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat.” (QS. Hud 11: 64)
Nabi Saleh ‘alaihissalam dan kaum Tsamud bersepakat bahwa unta betina itu boleh memakan rumput sembarang tempat di bumi mereka, dan boleh mendatangi sumur mereka dengan cara bergiliran, sehari
untuk unta dan sehari untuk kaum Tsamud. Bila jatuh giliran unta yang minum maka semua air yang ada di sumur itu menjadi hak si unta. Tak seorang pun dari kaum Tsamud berhak mengambilnya. Sehingga kaum
Tsamud mengambil air dari sumur itu untuk kebutuhan hari itu dan persediaan untuk besoknya. Sebagai gantinya, setelah unta itu beranak, kaum Tsamud boleh memerah susu dari unta itu. Semua itu sebagai ujian dari Allah Ta’ala kepada mereka.
MAKAR KAUM TSAMUD TERHADAP UNTA ALLAH Ta’ala
Waktu terus berlalu dan keadaan pun terus berubah. Hingga suatu ketika, setan membisiki tipu daya kedalam hati para pemuka kaum Tsamud. Berkumpullah mereka di suatu tempat mengadakan kesepakatan bersama untuk menyembelih unta tersebut dengan alasan agar mereka bisa sepenuhnya menguasai air yang ada pada sumur mereka, dan juga agar mereka bisa beristirahat dari kepayahan mengambil air sebab unta tersebut. Rencana jahat ini diprakarsai oleh pemimpin mereka, sosok manusia berkulit putih kemerah-merahan bernama Qidar bin Salif, ialah seorang laki‐laki yang paling celaka nasibnya (HR. Ahmad 4/263 dan Ibnu Abi Hatim 10/3438 dan dishohihkan oleh Syaikh al‐Albani).
Lalu diikuti dan didukung oleh semua kaum Tsamud yang tidak beriman kepada ajaran yang dibawa Nabi Saleh ‘alaihissalam. Dikisahkan dalam Tafsir ath‐Thobari, 8/226, bahwa di antara kaum Tsamud ada dua orang wanita; yang pertama adalah seorang wanita yang dicerai oleh suaminya karena ia tetap bersikukuh dalam kekafirannya padahal suaminya telah beriman kepada Nabi Saleh ‘alaihissalam.
Wanita ini termasuk golongan wanita kaya dan memiliki pengaruh di kaumnya. Setelah perceraian itu, ia menawarkan diri kepada anak pamannya (Misdaq bin Mahraj) untuk dinikahi dengan syarat apabila ia berhasil menyembelih unta Nabi Saleh ‘alaihissalam. Wanita yang kedua adalah seorang wanita kafir yang telah berusia senja yang mempunya empat orang anak perempuan.
Wanita tua itu juga menawarkan kepada Qidar bin Salif jika ia bisa menyembelih unta Nabi Sholih ‘alaihissalam maka ia boleh memilih salah satu dari keempat anak perempuannya.
Maka bergegaslah kedua laki‐laki tersebut berusaha untuk menyembelih unta Nabi Saleh ‘alaihissalam. Didukung pula oleh tujuh orang lainnya dari kaum Tsamud, maka jadilah mereka sembilan orang (Itulah yang Allah Ta’ala kisahkan dalam al‐Qur’an surat an‐Naml 27: 48 ).
KAUM TSAMUD MENYEMBELIH UNTA ALLAH Ta’ala
Akhirnya, bergeraklah sembilan laki‐laki itu untuk menyembelih unta Nabi Saleh ‘alaihissalam. Mereka mendapat dukungan penuh dari kaumnya akan makar ini. Mulailah mereka mengintai unta itu. Tatkala unta tersebut muncul, Misdaq memanahnya dan mengenai pahanya. Para wanita yang hadir disitu juga memberikan dukungan untuk lebih berani membunuhnya. Lalu Qidar bergerak cepat menghunus pedangnya hingga mengenai urat tumitnya. Akibatnya, unta itu terjerembab dan tersungkur ke tanah. Unta itu bersuara keras memperingatkan anak‐anaknya untuk menjauh. Selanjutnya, Qidar menusukkan pedangnya ke lehernya, lalu menyembelihnya. Melihat hal itu, anak unta tersebut berhamburan ke gunung sambil bersuara keras tiga kali
KEHANCURAN KAUM TSAMUD
‘Si Unta Mukjizat’ yang menjadi tanda dan bukti nyata akan kebenaran Nabi Saleh ‘alaihissalam benar‐benar telah terbunuh oleh tangan‐tangan kaum Tsamud yang durhaka. Tubuhnya yang panjang telah tersayat dan terpotong‐potong oleh kebengisan tangan‐tangan mereka. Setelah puas akan hal itu, mereka menantang Nabi Saleh ‘alaihissalam agar apa yang diancamkan Allah Ta’ala berupa adzab karena pembunuhan unta itu segera di datangkan. Perkataan mereka ini telah diabadikan dalam al‐Qur’an:
“Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah tuhan. Dan mereka berkata: "Hai Saleh, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang‐orang yang diutus (Allah)". (QS. Al‐A’rof 7: 77)
Saat diberi kabar tentang kematian unta itu, Nabi Saleh ‘alaihissalam bergegas pergi ketempat kejadian. Beliau menangis ketika melihat bangkai unta terkapar tak berdaya. Beliau sedih kaumnya begitu tega dan berani menentang wahyu dari Allah Ta’ala tersebut. Tak takutkah mereka akan kepedihan adzab Allah Ta’ala yang diancamkan kepada mereka?!
Maka tatkala turun wahyu dari Allah Ta’ala, Nabi Saleh ‘alaihissalam memberi tempo kepada kaum Tsamud selama tiga hari dari hari penyembelihan unta, yakni hari Rabu. Hal ini sesuai dengan jumlah teriakan anak unta itu, ketika lari ke gunung untuk menyelamatkan diri. Firman Allah Ta’ala :
“Maka kaum Tsamud menyembelih unta itu, lalu Nabi Saleh berkata kepada mereka, “Bersenang‐senanglah kalian selama tiga hari. Itu adalah suatu janji ancaman yang tidak dusta”. (QS. Hud 11: 65)
Menanggapi ancaman Nabi Saleh ‘alaihissalam itu, kaum Tsamud malah mencemooh dan mendustakan, bahkan disore harinya mereka berencana membunuh Nabi Saleh ‘alaihissalam beserta keluarganya. Menurut mereka, jika Nabi Saleh ‘alaihissalam memang benar‐benar berada di atas kebenaran, biarlah dia mati sebelum adzab menimpa mereka. Namun jika ia seorang pendusta, biarlah menyusul kematian untanya. Mereka pun berencana bila berhasil membunuh Nabi Saleh ‘alaihissalam, mereka akan mengingkari pembunuhan tersebut bila ahli warisnya menuntut. Begitulah keinginan keji mereka.
Akan tetapi Allah Ta’ala berkehendak lain. Ketika sebagian rombongan kaum Tsamud bergerak menuju rumah Nabi Saleh ‘alaihissalam untuk membunuhnya, Allah Ta’ala mengirim batu untuk menghadang perjalanan mereka. Batu itu menimpa mereka dan memecahkan kepala‐kepala mereka. Mereka pun tewas seketika mendahului kaum Tsamud yang lainnya. Kamis, hari pertama dari masa tenggang yang diancamkan, terlihat wajah‐wajah kaum Tsamud mulai menguning, tak jelas apa sebabnya. Kemudian hari kedua, Jum’at, wajah‐wajah mereka berubah menjadi merah. Lalu hari terakhir, Sabtu, wajah‐wajah mereka berubah menjadi hitam. Maka, tibalah saat waktu yang telah diancamkan, hari Ahad. Mereka semua duduk tertegun menanti apa yang akan terjadi pada mereka. Mereka tak tahu bagaimana bentuk adzab yang diancamkan dan dari mana datangnya. Maka, ketika matahari terbit di hari itu, terdengarlah suara yang sangat keras bak halilintar dari langit. Disusul gempa hebat yang menggetarkan semua yang ada di bumi. Akhirnya, tak satu pun nyawa kaum Tsamud yang tak beriman yang tersisa, semua dicabut secara mengenaskan; tak kenal dewasa, anak‐anak, laki‐laki dan perempuan semuanya menjadi mayat‐mayat yang bergelimpangan. Allah Ta’ala berfirman menggambarkan keadaan mereka:
“Adapun kaum Tsamud, maka mereka telah dibinasakan dengan suara petir yang amat keras.” (QS. Al‐Haqqoh 69: 5)
“lalu datanglah gempa menimpa mereka dan mereka pun mati gelimpangan di dalam reruntuhan rumah mereka.” (QS. Al‐A’rof 7: 78)
Nabi Saleh ‘alaihissalam dan orang‐orang yang beriman diselamatkan oleh Allah Ta’ala:
“Dan Kami selamatkan orang‐orang yang beriman dan mereka adalah orang‐orang yang bertakwa.” (QS. Fushshilat 41: 18)
Pasca kehancuran kaum Tsamud, Nabi Saleh ‘alaihissalam meninggalkan tempat tinggal mereka dan menetap di tanah haram. Allah Ta’ala mengisahkan:
“Maka berpalinglah Nabi Saleh meninggalkan kaumnya seraya berkata: "Hai kaumku Sesungguhnya aku telah menyampaikan risalah Robb‐ku kepada kalian dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang‐orang yang memberi nasehat." (QS. Al‐A’rof 7: 79)
Wallohu A’lam…
‘Si Unta Mukjizat’ yang menjadi tanda dan bukti nyata akan kebenaran Nabi Saleh ‘alaihissalam benar‐benar telah terbunuh oleh tangan‐tangan kaum Tsamud yang durhaka. Tubuhnya yang panjang telah tersayat dan terpotong‐potong oleh kebengisan tangan‐tangan mereka. Setelah puas akan hal itu, mereka menantang Nabi Saleh ‘alaihissalam agar apa yang diancamkan Allah Ta’ala berupa adzab karena pembunuhan unta itu segera di datangkan. Perkataan mereka ini telah diabadikan dalam al‐Qur’an:
“Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah tuhan. Dan mereka berkata: "Hai Saleh, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang‐orang yang diutus (Allah)". (QS. Al‐A’rof 7: 77)
Saat diberi kabar tentang kematian unta itu, Nabi Saleh ‘alaihissalam bergegas pergi ketempat kejadian. Beliau menangis ketika melihat bangkai unta terkapar tak berdaya. Beliau sedih kaumnya begitu tega dan berani menentang wahyu dari Allah Ta’ala tersebut. Tak takutkah mereka akan kepedihan adzab Allah Ta’ala yang diancamkan kepada mereka?!
Maka tatkala turun wahyu dari Allah Ta’ala, Nabi Saleh ‘alaihissalam memberi tempo kepada kaum Tsamud selama tiga hari dari hari penyembelihan unta, yakni hari Rabu. Hal ini sesuai dengan jumlah teriakan anak unta itu, ketika lari ke gunung untuk menyelamatkan diri. Firman Allah Ta’ala :
“Maka kaum Tsamud menyembelih unta itu, lalu Nabi Saleh berkata kepada mereka, “Bersenang‐senanglah kalian selama tiga hari. Itu adalah suatu janji ancaman yang tidak dusta”. (QS. Hud 11: 65)
Menanggapi ancaman Nabi Saleh ‘alaihissalam itu, kaum Tsamud malah mencemooh dan mendustakan, bahkan disore harinya mereka berencana membunuh Nabi Saleh ‘alaihissalam beserta keluarganya. Menurut mereka, jika Nabi Saleh ‘alaihissalam memang benar‐benar berada di atas kebenaran, biarlah dia mati sebelum adzab menimpa mereka. Namun jika ia seorang pendusta, biarlah menyusul kematian untanya. Mereka pun berencana bila berhasil membunuh Nabi Saleh ‘alaihissalam, mereka akan mengingkari pembunuhan tersebut bila ahli warisnya menuntut. Begitulah keinginan keji mereka.
Akan tetapi Allah Ta’ala berkehendak lain. Ketika sebagian rombongan kaum Tsamud bergerak menuju rumah Nabi Saleh ‘alaihissalam untuk membunuhnya, Allah Ta’ala mengirim batu untuk menghadang perjalanan mereka. Batu itu menimpa mereka dan memecahkan kepala‐kepala mereka. Mereka pun tewas seketika mendahului kaum Tsamud yang lainnya. Kamis, hari pertama dari masa tenggang yang diancamkan, terlihat wajah‐wajah kaum Tsamud mulai menguning, tak jelas apa sebabnya. Kemudian hari kedua, Jum’at, wajah‐wajah mereka berubah menjadi merah. Lalu hari terakhir, Sabtu, wajah‐wajah mereka berubah menjadi hitam. Maka, tibalah saat waktu yang telah diancamkan, hari Ahad. Mereka semua duduk tertegun menanti apa yang akan terjadi pada mereka. Mereka tak tahu bagaimana bentuk adzab yang diancamkan dan dari mana datangnya. Maka, ketika matahari terbit di hari itu, terdengarlah suara yang sangat keras bak halilintar dari langit. Disusul gempa hebat yang menggetarkan semua yang ada di bumi. Akhirnya, tak satu pun nyawa kaum Tsamud yang tak beriman yang tersisa, semua dicabut secara mengenaskan; tak kenal dewasa, anak‐anak, laki‐laki dan perempuan semuanya menjadi mayat‐mayat yang bergelimpangan. Allah Ta’ala berfirman menggambarkan keadaan mereka:
“Adapun kaum Tsamud, maka mereka telah dibinasakan dengan suara petir yang amat keras.” (QS. Al‐Haqqoh 69: 5)
“lalu datanglah gempa menimpa mereka dan mereka pun mati gelimpangan di dalam reruntuhan rumah mereka.” (QS. Al‐A’rof 7: 78)
Nabi Saleh ‘alaihissalam dan orang‐orang yang beriman diselamatkan oleh Allah Ta’ala:
“Dan Kami selamatkan orang‐orang yang beriman dan mereka adalah orang‐orang yang bertakwa.” (QS. Fushshilat 41: 18)
Pasca kehancuran kaum Tsamud, Nabi Saleh ‘alaihissalam meninggalkan tempat tinggal mereka dan menetap di tanah haram. Allah Ta’ala mengisahkan:
“Maka berpalinglah Nabi Saleh meninggalkan kaumnya seraya berkata: "Hai kaumku Sesungguhnya aku telah menyampaikan risalah Robb‐ku kepada kalian dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang‐orang yang memberi nasehat." (QS. Al‐A’rof 7: 79)
Wallohu A’lam…