·
Apa itu “etika bisnis”?
·
Apa saja enam tingkatan dalam membangun
moral?
·
Perlukah standar moral diaplikasikan
dalam bisnis?
·
Kapan seseorang secara moral bertanggung
jawab untuk perbuatan salahnya?
Tidak ada cara yang paling baik untuk
memulai penelaahan hubungan antara etika dan bisnis selain dengan mengamati,
bagaimanakah perusahaan riil telah benar-benar berusaha untuk menerapkan etika
ke dalam bisnis. Perusahaan Merck and Company dalam menangani masalah “river
blindness” sebagai contohnya ; River blindness adalah penyakit sangat tak
tertahankan yang menjangkau 18 juta penduduk miskin di desa-desa terpencil di
pinggiran sungai Afrika dan Amerika Latin. Penyakit dengan penyebab cacing
parasit ini berpindah dari tubuh melalui gigitan lalat hitam. Cacing ini hidup
dibawah kulit manusia, dan bereproduksi dengan melepaskan jutaan keturunannya
yang disebut microfilaria yang menyebar ke seluruh tubuh dengan bergerak-gerak
di bawah kulit, meninggalkan bercak-bercak, menyebabkan lepuh-lepuh dan gatal
yang amat sangat tak tertahankan, sehingga korban kadang-kadang memutuskan
bunuh diri.
Pada tahun 1979, Dr. Wiliam Campbell,
ilmuwan peneliti pada Merck and Company, perusahaan obat Amerika, menemukan
bukti bahwa salah satu obat-obatan hewan yang terjual laris dari perusahaan
itu, Invernectin, dapat menyembuhkan parasit penyebab river blindness. Campbell
dan tim risetnya mengajukan permohonan kepada Direktur Merck, Dr. P. Roy
Vagelos, agar mengijinkan mereka mengembangkan obat tersebut untuk manusia. Para
manajer Merck sadar bahwa kalau sukses mengembangkan obat tersebut, penderita
river blindness terlalu miskin untuk membelinya. Padahal biaya riset medis dan
tes klinis berskala besar untuk obat-obatan manusia dapat menghabiskan lebih
dari 100 juta dollar. Bahkan, kalau obat tersebut terdanai, tidak mungkin dapat
mendistribusikannya, karena penderita tinggal di daerah terpencil. Kalau obat
itu mengakibatkan efek samping, publisitas buruk akan berdampak pada penjualan
obat Merck. Kalau obat murah tersedia, obat dapat diselundupkan ke pasar gelap
dan dijual untuk hewan,sehingga menghancurkan penjualan Invernectin ke dokter
hewan yang selama ini menguntungkan.
Meskipun Merck penjualannya mencapai $2
milyar per tahun, namun pendapatan bersihnya menurun akibat kenaikan biaya
produksi, dan masalah lainnya, termasuk kongres USA yang siap mengesahkan
Undang-Undang Regulasi Obat yang akhirnya akan berdampak pada pendapatan
perusahaan. Karena itu, para manajer Merck enggan membiayai proyek mahal yang
menjanjikan sedikit keuntungan, seperti untuk river blindness. Namun tanpa
obat, jutaan orang terpenjara dalam penderitaan menyakitkan. Setelah banyak
dilakukan diskusi, sampai pada kesimpulan bahwa keuntungan manusiawi atas obat
untuk river blindness terlalu signifikan untuk diabaikan. Keuntungan manusiawi
inilah, secara moral perusahaan wajib mengenyampingkanbiaya dan imbal ekonomis
yang kecil. Tahun 1980 disetujuilah anggaran besar untuk mengembangkan
Invernectin versi manusia. Tujuh tahun riset mahal dilakukan dengan banyak
percobaan klinis, Merck berhasil membuat pil obat baru yang dimakan sekali
setahun akan melenyapkan seluruh jejak parasit penyebab river blindness dan
mencegah infeksi baru. Sayangnya tidak ada yang mau membeli obat ajaib tersebut,
termasuk saran kepada WHO, pemerintah AS dan pemerintah negara-negara yang
terjangkit penyakit tersebut, mau membeli untuk melindungi 85 juta orang
beresiko terkena penyakit ini, tapi tak satupun menanggapi permohonan itu.
Akhirnya Merck memutuskan memberikan secara gratis obat tersebut, namun tidak
ada saluran distribusi untuk menyalurkan kepada penduduk yang memerlukan.
Bekerjasama dengan WHO, perusahaan membiayai komite untuk mendistribusikan obat
secara aman kepada negara dunia ketiga, dan memastikan obat tidak akan
dialihkan ke pasar gelap dan menjualnya untuk hewan. Tahun 1996, komite
mendistribusikan obat untuk jutaan orang, yang secara efektif mengubah hidup
penderita dari penderitaan yang amat sangat, dan potensi kebutaan akibat
penyakit tersebut. Merck menginvestasikan banyak uang untuk riset, membuat dan
mendistribusikan obat yang tidak menghasilkan uang, karena menurut Vegalos
pilihan etisnya adalah mengembangkannya, dan penduduk dunia ketiga akan
mengingat bahwa Merck membantu mereka dan akan mengingat di masa yang akan
dating. Selama bertahun-tahun perusahaan belajar bahwa tindakan semacam itu memiliki
keuntungan strategis jangka panjang yang penting.
Para ahli sering berkelakar, bahwa etika
bisnis merupakan sebuah kontradiksi istilah karena ada pertentangan antara
etika dan minat pribadi yang berorientasi pada pencarian keuntungan. Ketika ada
konflik antara etika dan keuntungan, bisnis lebih memilih keuntungan daripada
etika.
Buku Business Ethics mengambil pandangan bahwa tindakan etis merupakan strategi
bisnis jangka panjang terbaik bagi perusahaan – sebuah pandangan yang semakin
diterima dalam beberapa tahun belakangan ini.
1.1.ETIKA BISNIS DAN ISU TERKAIT
Menurut kamus, istilah etika memiliki
beragam makna berbeda. Salah satu maknanya adalah “prinsip tingkah laku yang
mengatur individu dan kelompok”. Makna kedua menurut kamus – lebih penting –
etika adalah “kajian moralitas”. Tapi meskipun etika berkaitan dengan
moralitas, namun tidak sama persis dengan moralitas. Etika adalah semacam penelaahan,
baik aktivitas penelaahan maupun hasil penelaahan itu sendiri, sedangkan
moralitas merupakan subjek.
A.
Moralitas
Moralitas
adalah pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa itu benar dan
salah, atau baik dan jahat.
Pedoman moral mencakup norma-norma yang kita miliki mengenai jenis-jenis
tindakan yang kita yakini benar atau salah secara moral, dan nilai-nilai yang
kita terapkan pada objek-objek yang kita yakini secara moral baik atau secara
moral buruk. Norma moral seperti “selalu katakan kebenaran”, “membunuh orang
tak berdosa itu salah”. Nilai-nilai moral biasanya diekspresikan sebagai
pernyataan yang mendeskripsikan objek-objek atau ciri-ciri objek yang bernilai,
semacam “kejujuran itu baik” dan “ketidakadilan itu buruk”. Standar moral
pertama kali terserap ketika masa kanak-kanak dari keluarga, teman, pengaruh
kemasyarakatan seperti gereja, sekolah, televisi, majalah, music dan
perkumpulan. Hakekat standar moral :
Standar
moral berkaitan dengan persoalan yang kita anggap akan merugikan secara serius
atau benar-benar akan menguntungkan manusia. Standar moral tidak dapat
ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif tertentu. Standar moral
harus lebih diutamakan daripada nilai lain termasuk (khususnya) kepentingan
diri.
Standar moral
berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak. Standar moral diasosiasikan
dengan emosi tertentu dan kosa kata tertentu. Standar moral, dengan demikian,
merupakan standar yang berkaitan dengan persoalan yang kita anggap mempunyai
konsekuensi serius, didasarkan pada penalaran yang baik bukan otoritas,
melampaui kepentingan diri, didasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak,
dan yang pelanggarannya diasosiasikan dengan perasaan bersalah dan malu dan
dengan emosi dan kosa kata tertentu.
B. Etika
Etika
merupakan ilmu yang mendalami standar moral perorangan dan standar moral
masyarakat. Ia mempertanyakan bagaimana standar-standar diaplikasikan dalam
kehidupan kita dan apakah standar itu masuk akal atau tidak masuk akal –
standar, yaitu apakah didukung dengan penalaran yang bagus atau jelek. Etika
merupakan penelaahan standar moral, proses pemeriksaan standar moral orang atau
masyarakat untuk menentukan apakah standar tersebut masuk akal atau tidak untuk
diterapkan dalam situasi dan permasalahan konkrit. Tujuan akhir standar moral
adalah mengembangkan bangunan standar moral yang kita rasa masuk akal untuk
dianut. Etika merupakan studi standar moral yang tujuan eksplisitnya adalah
menentukan standar yang benar atau yang didukung oleh penalaran yang baik, dan
dengan demikian etika mencoba mencapai kesimpulan tentang moral yang benar
benar dan salah, dan moral yang baik dan jahat.
C. Etika Bisnis
Etika
bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi
ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan,
institusi, dan perilaku bisnis. Etika bisnis merupakan studi standar formal dan
bagaimana standar itu diterapkan ke dalam system dan organisasi yang digunakan
masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan
diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi.
D. Penerapan Etika pada Organisasi
Perusahaan
Dapatkan
pengertian moral seperti tanggung jawab, perbuatan yang salah dan kewajiban
diterapkan terhadap kelompok seperti perusahaan, ataukah pada orang (individu)
sebagai perilaku moral yang nyata? Ada dua pandangan yang muncul atas masalah
ini :
Ekstrem
pertama, adalah pandangan yang berpendapat bahwa, karena aturan yang mengikat,
organisasi memperbolehkan kita untuk mengatakan bahwa perusahaan bertindak
seperti individu dan memiliki tujuan yang disengaja atas apa yang mereka
lakukan, kita dapat mengatakan mereka bertanggung jawab secara moral untuk
tindakan mereka dan bahwa tindakan mereka adalah bermoral atau tidak bermoral
dalam pengertian yang sama yang dilakukan manusia.
Ekstrem
kedua, adalah pandangan filsuf yang berpendirian bahwa tidak masuk akal
berpikir bahwa organisasi bisnis secara moral bertanggung jawab karena ia gagal
mengikuti standar moral atau mengatakan bahwa organisasi memiliki kewajiban
moral. Organisasi bisnis sama seperti mesin yang anggotanya harus secara
membabi buta mentaati peraturan formal yang tidak ada kaitannya dengan
moralitas. Akibatnya, lebih tidak masuk akal untuk menganggap organisasi
bertanggung jawab secara moral karena ia gagal mengikuti standar moral daripada
mengkritik organisasi seperti mesin yang gagal bertindak secara moral.
Karena
itu, tindakan perusahaan berasal dari pilihan dan tindakan individu manusia,
indivdu-individulah yang harus dipandang sebagai penjaga utama kewajiban moral
dan tanggung jawab moral : individu manusia bertanggung jawab atas apa yang
dilakukan perusahaan karena tindakan perusahaan secara keseluruhan mengalir
dari pilihan dan perilaku mereka. Jika perusahaan bertindak keliru, kekeliruan
itu disebabkan oleh pilihan tindakan yang dilakukan oleh individu dalam
perusahaan itu, jika perusahaan bertindak secara moral, hal itu disebabkan oleh
pilihan individu dalam perusahaan bertindak secara bermoral.
E. Globalisasi, Perusahaan Multinasional
dan Etika Bisnis
Globalisasi
adalah proses yang meliputi seluruh dunia dan menyebabkan system ekonomi serta
sosial negara-negara menjadi terhubung bersama, termasuk didalamnya
barangbarang, jasa, modal, pengetahuan, dan peninggalan budaya yang
diperdagangkan dan saling berpindah dari satu negara ke negara lain. Proses ini
mempunyai beberapa komponen, termasuk didalamnya penurunan rintangan
perdagangan dan munculnya pasar terbuka dunia, kreasi komunikasi global dan system
transportasi seperti internet dan pelayaran global, perkembangan organisasi
perdagangan dunia (WTO), bank dunia, IMF, dan lain sebagainya.
Perusahaan multinasional adalah inti dari proses globalisasi dan bertanggung
jawab dalam transaksi internasional yang terjadi dewasa ini. Perusahaan
multinasional adalah perusahaan yang bergerak di bidang yang menghasilkan
pemasaran, jasa atau operasi administrasi di beberapa negara. Perusahaan
multinasional adalah perusahaan yang melakukan kegiatan produksi, pemasaran,
jasa dan beroperasi di banyak negara yang berbeda. Karena perusahaan
multinasional ini beroperasi di banyak negara dengan ragam budaya dan standar
yang berbeda, banyak klaim yang menyatakan bahwa beberapa perusahaan melanggar
norma dan standar yang seharusnya tidak mereka lakukan.
F. Etika Bisnis dan Perbedaan Budaya
Relativisme
etis adalah teori bahwa, karena masyarakat yang berbeda memiliki keyakinan etis
yang berbeda. Apakah tindakan secara moral benar atau salah, tergantung kepada
pandangan masyarakat itu. Dengan kata lain, relativisme moral adalah pandangan
bahwa tidak ada standar etis yang secara absolute benar dan yang diterapkan
atau harus diterapkan terhadap perusahaan atau orang dari semua masyarakat. Dalam
penalaran moral seseorang, dia harus selalu mengikuti standar moral yang
berlaku dalam masyarakat manapun dimana dia berada.
Pandangan lain dari kritikus relativisme etis yang berpendapat, bahwa ada
standar moral tertentu yang harus diterima oleh anggota masyarakat manapun jika
masyarakat itu akan terus berlangsung dan jika anggotanya ingin berinteraksi
secara efektif. Relativisme etis mengingatkan kita bahwa masyarakat yang
berbeda memiliki keyakinan moral yang berbeda, dan kita hendaknya tidak secara
sederhana mengabaikan keyakinan moral kebudayaan lain ketika mereka tidak
sesuai dengan standar moral kita.
G. Teknologi dan Etika Bisnis
Teknologi
yang berkembang di akhir dekade abad ke-20 mentransformasi masyarakat dan
bisnis, dan menciptakan potensi problem etis baru. Yang paling mencolok adalah
revolusi dalam bioteknologi dan teknologi informasi. Teknologi menyebabkan
beberapa perubahan radikal, seperti globalisasi yang berkembang pesat dan
hilangnya jarak, kemampuan menemukan bentuk-bentuk kehidupan baru yang keuntungan
dan resikonya tidak terprediksi. Dengan perubahan cepat ini, organisasi bisnis
berhadapan dengan setumpuk persoalan etis baru yang menarik.
1.2 PERKEMBANGAN MORAL DAN PENALARAN
MORAL
A.
Perkembangan
Moral
Riset
psikologi menunjukkan bahwa, perkembangan moral seseorang dapat berubah ketika
dewasa. Saat anak-anak, kita secara jujur mengatakan apa yang benar dan apa
yang salah, dan patuh untuk menghindari hukuman. Ketika tumbuh menjadi remaja,
standar moral konvensional secara bertahap diinternalisasikan. Standar moral
pada tahap ini didasarkan pada pemenuhan harapan keluarga, teman dan masyarakat
sekitar. Hanya sebagian manusia dewasa yang rasional dan berpengalaman memiliki
kemampuan merefleksikan secara kritis standar moral konvensional yang
diwariskan keluarga, teman, budaya atau agama kita. Yaitu standar moral yang
tidak memihak dan yang lebih memperhatikan kepentingan orang lain, dan secara
memadai menyeimbangkan perhatian terhadap orang lain dengan perhatian terhadap
diri sendiri.
Menurut ahli psikologi, Lawrence Kohlberg, dengan risetnya selama 20 tahun,
menyimpulkan, bahwa ada 6 tingkatan (terdiri dari 3 level, masing-masing 2
tahap) yang teridentifikasi dalam perkembangan moral seseorang untuk berhadapan
dengan isu-isu moral. Tahapannya adalah sebagai berikut :
1) Level satu : Tahap Prakonvensional
Pada
tahap pertama, seorang anak dapat merespon peraturan dan ekspektasi sosial dan
dapat menerapkan label-label baik, buruk, benar dan salah.
Tahap satu : Orientasi Hukuman dan Ketaatan Pada tahap ini, konsekuensi fisik
sebuah tindakan sepenuhnya ditentukan oleh kebaikan atau keburukan tindakan
itu. Alasan anak untuk melakukan yang baik adalah untuk menghindari hukuman
atau menghormati kekuatan otoritas fisik yang lebih besar. Tahap dua :
Orientasi Instrumen dan Relativitas Pada tahap ini, tindakan yang benar adalah
yang dapat berfungsi sebagai instrument untuk memuaskan kebutuhan anak itu
sendiri atau kebutuhan mereka yang dipedulikan anak itu.
2) Level dua : Tahap Konvensional
Pada
level ini, orang tidak hanya berdamai dengan harapan, tetapi menunjukkan
loyalitas terhadap kelompok beserta norma-normanya. Remaja pada masa ini, dapat
melihat situasi dari sudut pandang orang lain, dari perspektif kelompok
sosialnya. Tahap Tiga : Orientasi pada Kesesuaian Interpersonal
Pada tahap ini, melakukan apa yang baik dimotivasi oleh kebutuhan untuk dilihat
sebagai pelaku yang baik dalam pandangannya sendiri dan pandangan orang lain.
Tahap Empat : Orientasi pada Hukum dan Keteraturan Benar dan salah pada tahap
konvensional yang lebih dewasa, kini ditentukan oleh loyalitas terhadap negara
atau masyarakat sekitarnya yang lebih besar. Hukum dipatuhi kecuali tidak
sesuai dengan kewajiban sosial lain yang sudah jelas.
3) Level tiga : Tahap
Postkonvensional, Otonom, atau Berprinsip
Pada
tahap ini, seseorang tidak lagi secara sederhana menerima nilai dan norma
kelompoknya. Dia justru berusaha melihat situasi dari sudut pandang yang secara
adil mempertimbangkan kepentingan orang lain. Dia mempertanyakan hukum dan
nilai yang diadopsi oleh masyarakat dan mendefinisikan kembali dalam pengertian
prinsip moral yang dipilih sendiri yang dapat dijustifikasi secara rasional.
Hukum dan nilai yang pantas adalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang
memotivasi orang yang rasional untuk menjalankannya. Tahap Lima : Orientasi
pada Kontrak Sosial Tahap ini, seseorang menjadi sadar bahwa mempunyai beragam
pandangan dan pendapat personal yang bertentangan dan menekankan cara yang adil
untuk mencapai consensus dengan kesepahaman, kontrak, dan proses yang matang.
Dia percaya bahwa nilai dan norma bersifat relative, dan terlepas dari
consensus demokratis semuanya diberi toleransi.
Tahap Enam : Orientasi pada Prinsip Etika yang Universal Tahap akhir ini,
tindakan yang benar didefinisikan dalam pengertian prinsip moral yang dipilih
karena komprehensivitas, universalitas, dan konsistensi. Alasan seseorang untuk
melakukan apa yang benar berdasarkan pada komitmen terhadap prinsip-prinsip
moral tersebut dan dia melihatnya sebagai criteria untuk mengevaluasi semua
aturan dan tatanan moral yang lain.
Teori
Kohlberg membantu kita memahami bagaimana kapasitas moral kita berkembang dan
memperlihatkan bagaimana kita menjadi lebih berpengalaman dan kritis dalam
menggunakan dan memahami standar moral yang kita punyai. Namun tidak semua
orang mengalami perkembangan, dan banyak yang berhenti pada tahap awal
sepanjang hidupnya. Bagi mereka yang tetap tinggal pada tahap prakonvensional,
benar atau salah terus menerus didefinisikan dalam pengertian egosentris untuk
menghindari hukuman dan melakukan apa yang dikatakan oleh figur otoritas yang
berkuasa. Bagi mereka yang mencapai tahap konvensional, tetapi tidak pernah
maju lagi, benar atau salah selalu didefinisikan dalam pengertian norma-norma
kelompok sosial mereka atau hukum Negara atau masyarakat mereka. Namun
demikian, bagi yang mencapai level postkonvensional dan mengambil pandangan
yang reflektif dan kritis terhadap standar moral yang mereka yakini, benar dan
salah secara moral didefinisikan dalam pengertian prinsip-prinsip moral yang
mereka pilih bagi mereka sendiri sebagai yang lebih rasional dan memadai.
B.
Penalaran
Moral
Penalaran
moral mengacu pada proses penalaran dimana prilaku, institusi, atau kebijakan
dinilai sesuai atau melanggar standar moral. Penalaran moral selalu melibatkan
dua komponen mendasar :
1. Pemahaman
tentang yang dituntut, dilarang, dinilai atau disalahkan oleh standar moral
yang masuk akal.
2. Bukti
atau informasi yang menunjukkan bahwa orang, kebijakan, institusi, atau prilaku
tertentu mempunyai ciri-ciri standar moral yang menuntut, melarang, menilai,
atau menyalahkan.
3. Menganalisis
Penalaran Moral
Ada beberapa criteria yang digunakan para ahli etika untuk mengevaluasi kelayakan
penalaran moral, yaitu :
·
Penalaran moral harus logis.
·
Bukti factual yang dikutip untuk
mendukung penilaian harus akurat, relevan dan lengkap.
·
Standar moral yang melibatkan penalaran
moral seseorang harus konsisten.
1.3 ARGUMEN YANG MENDUKUNG DAN YANG
MENENTANG ETIKA BISNIS
Banyak
yang keberatan dengan penerapan standar moral dalam aktivitas bisnis. Bagian
ini membahas keberatan-keberatan tersebut dan melihat apa yang dapat dikatakan
berkenaan dengan kesetujuan untuk menerapkan etika ke dalam bisnis. Tiga
keberatan atas penerapan etika ke dalam bisnis : Orang yang terlibat dalam
bisnis, kata mereka hendaknya berfokus pada pencarian keuntungan finansial
bisnis mereka dan tidak membuang-buang energi mereka atau sumber daya
perusahaan untuk melakukan ”pekerjaan baik”. Tiga argumen diajukan untuk
mendukung perusahaan ini :
Pertama,
beberapa berpendapat bahwa di pasar bebas kompetitif sempurna, pencarian
keuntungan dengan sendirinya menekankan bahwa anggota masyarakat berfungsi
dengan cara-cara yang paling menguntungkan secara sosial. Agar beruntung,
masing-masing perusahaan harus memproduksi hanya apa yang diinginkan oleh
anggota masyarakat dan harus melakukannya dengan cara yang paling efisien yang
tersedia. Anggota masyarakat akan sangat beruntung jika manajer tidak
memaksakan nilai-nilai pada bisnis, namun mengabdikan dirinya pada pencarian
keuntungan yang berfokus. Argumen tersebut menyembunyikan sejumlah asumsi yaitu
: Pertama, sebagian besar industri tidak ”kompetitif secara sempurna”, dan
sejauh sejauh perusahaan tidak harus berkompetisi, mereka dapat memaksimumkan
keuntungan sekalipun produksi tidak efisien. Kedua, argumen itu mengasumsikan
bahwa langkah manapun yang diambil untuk meningkatkan keuntungan, perlu
menguntungkan secara sosial, sekalipun dalam kenyataannya ada beberapa cara
untuk meningkatkan keuntungan yang sebenarnya merugikan perusahaan : membiarkan
polusi, iklan meniru, menyembunyikan cacat produksi, penyuapan. Menghindari
pajak, dsb. Ketiga, argumen itu mengasumsikan bahwa dengan memproduksi apapun
yang diinginkan publik pembeli, perusahaan memproduksi apa yang diinginkan oleh
seluruh anggota masyarakat, ketika kenyataan keinginan sebagian besar anggota
masyarakat (yang miskin dan dan tidak diuntungkan) tidak perlu dipenuhi karena
mereka tidak dapat berpartisipasi dalam pasar. Keempat, argumen itu secara
esensial membuat penilaian normatif.
Kedua, Kadang diajukan untuk
menunjukan bahwa manajer bisnis hendaknya berfokus mengejar keuntungan
perusahaan mereka dan mengabaikan pertimbangan etis, yang oleh Ale C. Michales
disebut ”argumen dari agen yang loyal”. Argumen tersebut secara sederhana
adalah sbb : Sebagai agen yang loyal dari majikannya manajer mempunyai
kewajiban untuk melayani majikannya ketika majikan ingin dilayani (jika majikan
memiliki keakhlian agen).
Majikan ingin dilayani dengan cara apapun yang akan memajukan kepentingannya
sendiri. Dengan demikian sebagai agen yang loyal dari majikannya, manajer
mempunyai kewajiban untuk melayani majikannya dengan cara apapun yang akan
memajukan kepentingannya. Argumen agen yang loyal adalah keliru, karena ”dalam
menentukan apakah perintah klien kepada agen masuk akal atau tidak... etika
bisnis atau profesional harus mempertimbangkan” dan ”dalam peristiwa apapun
dinyatakan bahwa agen mempunyai kewajiban untuk tidak melaksanakan tindakan
yang ilegal atau tidak etis”. Dengan demikian, kewajiban manajer untuk mengabdi
kepada majikannya, dibatasi oleh batasan-batasan moralitas.
Ketiga,
untuk menjadi etis cukuplah bagi orang-orang bisnis sekedar mentaati hukum : Etika
bisnis pada dasarnya adalah mentaati hukum.
Terkadang kita salah memandang hukum dan etika terlihat identik. Benar bahwa
hokum tertentu menuntut perilaku yang sama yang juga dituntut standar moral
kita. Namun demikian, hukum dan moral tidak selalu serupa. Beberapa hukum tidak
punya kaitan dengan moralitas, bahkan hukum melanggar standar moral sehingga
bertentangan dengan moralitas, seperti hukum perbudakan yang memperbolehkan
kita memperlakukan budak sebagai properti. Jelas bahwa etika tidak begitu saja
mengikuti hukum. Namun tidak berarti etika tidak mempunyai kaitan dengan hukum.
Standar Moral kita kadang dimasukan ke dalam hukum ketika kebanyakan dari kita
merasa bahwa standar moral harus ditegakkan dengan kekuatan sistem hukum
sebaliknya, hukum dikritik dan dihapuskan ketika jelas jelas melanggar standar
moral. Kasus etika dalam bisnis Etika seharusnya diterapkan dalam bisnis dengan
menunjukan bahwa etika mengatur semua aktivitas manusia yang disengaja, dan
karena bisnis merupakan aktitivitas manusia yang disengaja, etika hendaknya
juga berperan dalam bisnis. Argumen lain berpandangan bahwa, aktivitas bisnis,
seperti juga aktivitas manusia lainnya, tidak dapat eksis kecuali orang yang
terlibat dalam bisnis dan komunitas sekitarnya taat terhadap standar minimal
etika. Bisnis merupakan aktivitas kooperatif yang eksistensinya mensyaratkan
perilaku etis.
Dalam
masyarakat tanpa etika, seperti ditulis oleh filsuf Hobbes, ketidakpercayaan
dan kepentingan diri yang tidak terbatas akan menciptakan ”perang antar manusia
terhadap manusia lain”, dan dalam situasi seperti itu hidup akan menjadi
”kotor, brutal, dan dangkal”. Karenanya dalam masyarakat seperti itu, tidak
mungkin dapat melakukan aktivitas bisnis, dan bisnis akan hancur. Katena bisnis
tidak dapat bertahan hidup tanpa etika, maka kepentingan bisnis yang paling
utama adalah mempromosikan perilaku etika kepada anggotanya dan juga masyarakat
luas. Etika hendaknya diterapkan dalam bisnis dengan menunjukan bahwa etika
konsisten dengan tujuan bisnis, khususnya dalam mencari keuntungan. Contoh
Merck dikenal karena budaya etisnya yang sudah lama berlangsung, namun ia tetap
merupakan perusahaan yang secara spektakuler mendapatkan paling banyak
keuntungan sepanjang masa.
Apakah
ada bukti bahwa etika dalam bisnis secara sistematis berkorelasi dengan
profitabilitas? Apakah Perusahaan yang etis lebih menguntungkan dapripada
perusahaan lainnya ? Beberapa studi menunjukan hubungan yang positif antara
perilaku yang bertanggung jawab secara sosial dengan profitabilitas, beberapa
tidak menemukan korelasi bahwa etika bisnis merupakan beban terhadap
keuntungan. Studi lain melihat, perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial
bertransaksi di pasar saham, memperoleh pengembalian yang lebih tinggi daripada
perusahaan lainnya. Semua studi menunjukan bahwa secara keseluruhan etika tidak
memperkecil keuntungan, dan tampak justru berkontribusi pada keuntungan.
Dalam
jangka panjang, untuk sebagian besar, lebih baik menjadi etis dalam bisnis dari
pada tidak etis. Meskipun tidak etis dalam bisnis kadang berhasil, namun
perilaku tidak etis ini dalam jangka panjang, cenderung menjadi kekalahan
karena meruntuhkan hubungan koperatif yang berjangka lama dengan pelanggan,
karyawan dan anggota masyarakat dimana kesuksesan disnis sangat bergantung.
Akhirnya
kita harus mengetahui ada banyak bukti bahwa sebagian besar orang akan menilai
perilaku etis dengan menghukum siapa saja yang mereka persepsi berperilaku
tidak etis, dan menghargai siapa saja yang mereka persepsi berperilaku etis.
Pelanggan akan melawan perusahaan jika mereka mempersepsi ketidakadilan yang
dilakukan perusahaan dalam bisnis lainnya, dan mengurangi minat mereka untuk
membeli produknya. Karyawan yang merasakan ketidakadilan, akan menunjukan
absentisme lebih tinggi, produktivitas lebih rendah, dan tuntutan upah lebih
tinggi. Sebaliknya, ketika karyawan percaya bahwa organisasi adil, akan senang
mengikuti manajer. Melakukan apapun yang dikatakan manajer, dan memandang
keputusan manajer sah.
Ringkasnya,
etika merupakan komponen kunci manajemen yang efektif.
Dengan demikian, ada sejumlah argumen yang kuat, yang mendukung pandangan bahwa
etika hendaknya diterapkan dalam bisnis.
1.4 TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN
MORAL
Kapankah
secara moral seseorang bertanggung jawab atau disalahkan, karena melakukan
kesalahan? Seseorang secara moral bertanggung jawab atas tindakannya dan
efek-efek merugikan yang telah diketahui ;
a.
Yang dilakukan atau dilaksanakan seseorang dengan sengaja dan secara bebas
b. Yang gagal dilakukan atau dicegah dan yang secara moral keliru karena orang
itu dengan sengaja atau secara bebas gagal melaksanakan atau mencegahnya.
Ada kesepakatan umum, bahwa ada dua kondisi yang sepenuhnya menghilangkan
tanggung jawab moral seseorang karena menyebabkan kerugian ;
Ketidaktahuan
Ketidakmampuan
Keduanya
disebut kondisi yang memaafkan karena sepenuhnya memaafkan orang dari tanggung
jawab terhadap sesuatu. Jika seseorang tidak mengetahui, atau tidak dapat
menghindari apa yang dia lakukan, kemudian orang itu tidak berbuat secara
sadar, ia bebas dan tidak dapat dipersalahkan atas tindakannya. Namun, ketidaktahuan
dan ketidakmampuan tidak selalu memaafkan seseorang, salah satu pengecualiannya
adalah ketika seseorang mungkin secara sengaja, membiarkan dirinya tidak mau
mengetahui persoalan tertentu. Ketidakmampuan bisa jadi merupakan akibat
lingkungan internal dan eksternal yang menyebabkan seseorang tidak dapat
melakukan sesuatu atau tidak dapat menahan melakukan sesuatu. Seseorang mungkin
kekurangan kekuasaan, keahlian, kesempatan atau sumber daya yang mencukupi
untuk bertindak. Seseorang mungkin secara fisik terhalang atau tidak dapat
bertindak, atau pikiran orang secara psikologis cacat sehingga mencegahnya
mengendalikan tindakannya. Ketidakmampuan mengurangi tanggung jawab karena
seseorang tidak mempunyai tanggung jawab untuk melakukan (atau melarang
melakukan) sesuatu yang tidak dapat dia kendalikan. Sejauh lingkungan
menyebabkan seseorang tidak dapat mengendalikan tindakannya atau mencegah
kerugian tertentu, adalah keliru menyalahkan orang itu. Sebagai tambahan atas
dua kondisi yang memaklumkan itu (ketidaktahuan dan ketidakmampuan), yang
sepenuhnya menghilangkan tanggung jawab moral seseorang karena kesalahan, ada
juga beberapa faktor yang memperingan, yang meringankan tanggung jawab moral
seseorang yang tergantung pada kejelasan kesalahan. Faktor yang memperingan
mencakup :
·
Lingkungan yang mengakibatkan orang
tidak pasti, namun tidak juga tidak yakin tentang apa yang sedang dia lakukan (
hal tersebut mempengaruhi pengetahuan seseorang)
·
Lingkungan yang menyulitkan, namun bukan
tidak mungkin untuk menghindari melakukannya (hal ini mempengaruhi kebebasan
seseorang)
·
Lingkungan yang mengurangi namun tidak
sepenuhnya menghilangkan keterlibatan seseorang dalam sebuah tindakan (ini
mempengaruhi tingkatan sampai dimana seseorang benar-benar menyebabkan
kerugian)
Hal
tersebut dapat memperingan tanggung jawab seseorang karena kelakuan yang keliru
yang tergantung pada faktor keempat, yaitu keseriusan kesalahan.
Kesimpulan mendasar tentang tanggung jawab moral atas kesalahan atau kerugian
yang memperingan tanggung jawab moral seseorang yaitu :
Secara
moral individu, bertanggung jawab atas tindakan yang salah yang dia lakukan
(atau yang secara keliru dia lalaikan) dan atas efek-efek kerugian yang
disebabkan (atau yang gagal dia cegah) ketika itu dilakukan dengan bebas dan
sadar. Tanggung jawab moral sepenuhnya dihilangkan (atau dimaafkan) oleh ketidaktahuan
dan ketidakmampuan
Tanggung
jawab moral atas kesalahan atau kerugian diringankan oleh :
Ketidak
pastian
Kesulitan
Bobot
keterlibatan yang kecil (meskipun kegagalan tidak memperingan jika seseorang
mempunyai tugas khusus untuk mencegah kesalahan), namun cakupan sejauh mana
hal-hal tersebut memperingan tanggung jawab moral seseorang kepada (dengan)
keseriusan kesalahan atau kerugian. Semakin besar keseriusannya, semakin kecil
ketiga factor pertama tadi dapat meringankan.
Para kritikus berdebat, apakah semua faktor yang meringankan itu benar-benar
mempengaruhi tanggung jawab seseorang? Beberapa berpendapat bahwa, kejahatan
tidak pernah diterima, tidak peduli tekanan apakah yang terjadi pada seseorang.
Kritikus lain berpendapat, membiarkan secara pasif suatu kesalahan terjadi,
tidak berbeda dengan secara aktif menyebabkan suatu kesalahan terjadi.
A. Tanggung
Jawab Perusahaan
Dalam
perusahaan modern, tanggung jawab atas tindakan perusahaan sering
didistribusikan kepada sejumlah pihak yang bekerja sama. Tindakan perusahaan
biasanya terdiri atas tindakan atau kelalaian orang-orang berbeda yang bekerja
sama sehingga tindakan atau kelalaian mereka bersama-sama menghasilkan tindakan
perusahaan. Jadi, siapakah yang bertanggung jawab atas tindakan yang dihasilkan
bersama-sama itu? Pandangan tradisional berpendapat bahwa mereka yang melakukan
secara sadar dan bebas apa yang diperlukan perusahaan, masing-masing secara
moral bertanggung jawab. Lain halnya pendapat para kritikus pandangan
tradisional, yang menyatakan bahwa ketika sebuah kelompok terorganisasi seperti
perusahaan bertindak bersama-sama, tindakan perusahaan mereka dapat
dideskripsikan sebagai tindakan kelompok, dan konsekuensinya tindakan
kelompoklah, bukan tindakan individu, yang mengharuskan kelompok bertanggung
jawab atas tindakan tersebut.
Kaum
tradisional membantah bahwa, meskipun kita kadang membebankan tindakan kepada
kelompok perusahaan, fakta legal tersebut tidak mengubah realitas moral dibalik
semua tindakan perusahaan itu. Individu manapun yang bergabung secara sukarela
dan bebas dalam tindakan bersama dengan orang lain, yang bermaksud menghasilkan
tindakan perusahaan, secara moral akan bertanggung jawab atas tindakan itu. Namun
demikian, karyawan perusahaan besar tidak dapat dikatakan “dengan sengaja dan
dengan bebas turut dalam tindakan bersama itu” untuk menghasilkan tindakan
perusahaan atau untuk mengejar tujuan perusahaan. Seseorang yang bekerja dalam
struktur birokrasi organisasi besar tidak harus bertanggung jawab secara moral
atas setiap tindakan perusahaan yang turut dia bantu, seperti seorang
sekretaris, juru tulis, atau tukang bersih-bersih di sebuah perusahaan. Faktor
ketidaktahuan dan ketidakmampuan yang meringankan dalam organisasi perusahaan
birokrasi berskala besar, sepenuhnya akan menghilangkan tanggung jawab moral
orang itu.
B. Tanggung Jawab Bawahan
Dalam
perusahaan, karyawan sering bertindak berdasarkan perintah atasan mereka. Perusahaan
biasanya memiliki struktur yang lebih tinggi ke beragam agen pada level yang
lebih rendah. Jadi, siapakah yang harus bertanggung jawab secara moral ketika
seorang atasan memerintahkan bawahannya untuk melakukan tindakan yang mereka
ketahui salah. Orang kadang berpendapat bahwa, ketika seorang bawahan bertindak
sesuai dengan perintah atasannya yang sah, dia dibebaskan dari semua tanggung
jawab atas tindakan itu. Hanya atasan yang secara moral bertanggung jawab atas
tindakan yang keliru, bahkan jika bawahan adalah agen yang melakukannya.
Pendapat tersebut keliru, karena bagaimanapun tanggung jawab moral menuntut
seseorang bertindak secara bebas dan sadar, dan tidak relevan bahwa tindakan
seseorang yang salah merupakan pilihan secara bebas dan sadar mengikuti
perintah.
Ada
batas-batas kewajiban karyawan untuk mentaati atasannya. Seorang karyawan tidak
mempunyai kewajiban untuk mentaati perintah melakukan apapun yang tidak
bermoral. Dengan demikian, ketika seorang atasan memerintahkan seorang karyawan
untuk melakukan sebuah tindakan yang mereka ketahui salah, karyawan secara
moral bertanggung jawab atas tindakan itu jika dia melakukannya. Atasan juga
bertanggung jawab secara moral, karena fakta atasan menggunakan bawahan untuk
melaksanakan tindakan yang salah tidak mengubah fakta bahwa atasan
melakukannya.
HAL – HAL YANG MENARIK
1. Dasar
Etika adalah Moral Apa yang dimaksud dengan etika? Menurut kamus ada banyak
arti dari etika diantaranya adalah :
·
Prinsip – prinsip yang digunakan untuk
mengatur prilaku individu atau kelompok
·
Pelajaran tentang moral
Definisi
Moralitas adalah :
“Aturan-aturan
yang dimiliki perorangan atau kelompok tentang apa-apa yang benar dan apa-apa
yang salah, atau apa-apa yang baik dan yang jahat.”
Sedangkan yang dimaksud dengan standar moral adalah :
“Norma-norma
yang kita miliki tentang jenis-jenis tindakan yang kita percaya secara moral
benar atau salah.”
2. Moral
Lebih ke Arah Individu
Organisasi
perusahaan akan eksis bila :
“Ada
individu – individu manusia dengan hubungan dan lingkungan tertentu.”
Karena tindakan perusahaan dilakukan oleh pilihan dan tindakan
individu-individu di dalamnya. Maka individu-individu tadi yang harus dilihat
sebagai penghalang dan pelaksana utama dari tugas moral, tanggung jawab moral
perusahaan.
Individu-individu
manusia tadi bertanggung jawab pada apa yang dilakukan oleh perusahaan, karena
tindakan perusahaan berlangsung karena pilihan-pilihan mereka dan prilaku
individu-individu tadi. Sehingga perusahaan mempunyai tugas moral untuk
melakukan sesuatu bila anggota perusahaan tersebut mempunyai tanggung jawab
moral untuk melakukan sesuatu.
Pencapai
Tetinggi dari Etika adalah Berorientasi pada Prinsip Etika Universal
Tingkat final, tindakan yang benar dilakukan berdasarkan prinsip moral karena
logis, universality dan konsistensi. Universality artinya suara hati, di dalam
istilah ESQ disebut anggukan universal yang mengacu kepada God Spot.